Rabu, 01 Juni 2011

MADIHIN, SASTRA BANJARNYA URANG BANJAR

Oleh : Arsyad Indradi
Ada yang berpendapat bahwa madihin berasal dari kata madah, yaitu sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia. Madah merupakan syair yang mempunyai rima yang sama pada suku akhir kalimat. Madah mengandung puji - pujian, nasehat atau petuah. Tetapi dalam perkembangannya humor atau lulucuan, sindiran yang sehat, tak ketinggalan disuguhkan oleh Pamadihinan ( orang yang membawakan madihin ) sebagai bumbu.
Kehidupan Madihin seperti juga balamut, Sastra Banjar yang hampir tipis, bahkan mengalami kerisis kemusnahannya. Sastra Banjar Madihin jarang ditampilkan dalam acara – acara hiburan hari – hari besar atau acara perayaan daerah misalnya pada hari jadi kota, kabupaten atau pun pada hari jadi provinsi. Setelah di tahun 1970 – an tak pernah ada lagi perlombaan atau pertandingan Madihin.

Selasa, 31 Mei 2011

Lamut Sastra Banjarnya Urang Banjar

Oleh : Arsyad Indradi
Lamut adalah salah satu sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur yang dikhawatirkan suatu saat nanti akan punah. Disebabkan hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi Palamutan ( orang yang bercerita lamut ), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat banjar itu sendiri, lembaga atau instansi senibudaya untuk melestarikian kehidupan Lamut yang semakin langka ini.
Mengapa dikatakan Lamut ? Ada yang mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh, baik dilingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang, Bercerita sambil membunyikan ( memukul ) alat tersebut. Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau samar – samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari.

Sabtu, 28 Mei 2011

Wayang Kulit Banjar

Kesenian wayang kulit di Indonesia antara lain dapat ditemui di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Kalimantan Selatan. Wayang kulit di Kalimantan Selatan dinamakan Wayang Kulit Banjar, karena pendukung kesenian ini adalah etnis Banjar. Secara fisik ukuran wayang kulit Banjar lebih kecil dibanding wayang kulit Jawa. Atau lebih mendekati ukuran wayang kulit Bali.

Jumat, 27 Mei 2011

Kisah Perjuangan Hamuk Hantarukung

Makam Tumpang Talu terletak di Kampung Parincahan Kecamatan Kandangan, berjarak sekitar 1 Km dari pusat kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Makam ini adalah makam tiga orang pejuang yakni Bukhari, Landuk dan H.Matamin dalam satu lubang yang gugur pada peristiwa pemberontakan Amuk Hantarukung tanggal 19 September 1899. Hamuk Hantarakung merupakan salah satu peristiwa bersejarah di kampung Hantarukung, Kalsel. Hantarukung, sebuah kampung kecil sekitar 7 km dari Kandangan (Hulu Sungai Selatan, Kalsel). namun di kampung ini menyimpan kisah heroik para pahlawan bangsa dalam menentang penjajahan Belanda di masa abad ke-19. Walaupun tidak tercatat sebagai peristiwa nasional, namun masyarakat lokal menganggap bahwa Hamuk Hantarukung merupakan usaha rakyat Hulu Sungai Selatan (Kalsel) dalam mengusir penjajah Belanda.
Gerakan penentangan ini dipimpin oleh Bukhari, seorang pahlawan dalam upaya mencapai kemerdekaan. Bukhari (1850-1899). Beliau lahir di Hantarukung dan wafat juga di Hantarukung pada tanggal 19 September 1899 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai Selatan).

Kamis, 26 Mei 2011

Gundahku

LAIN KAHANDAK LAIN NANG JADI
wanyi mandarunG


Rasa Tarista Badan Saurangan
Taganang Nasib Kada Bauntung
Siang Wan Malam Pikiran Pusang
Kadada Kawan Nang Di Pandang- Pandang

Lamunlah Nasib Nang Kaya Ini
Bisanya Badan Bapasrah Diri
Rindang Dandam Diri Mananti
Mahadang Judu Lakas Batali

Puisiku

Taganang Ading
wanyi_mandarunG

Malam ini,,,
Ku duduk maungut
Tasandar di tihang palatar
Taganang ading nang sudah kadada
Bulik ka wadah nang ampun-Nya

Malam ini,,,
Hujan baribisan
Di hindau bulan nang salau-salauan

Marista

Marista
wanyi mandarunG
 
Marista,,, aq marista
Taingat kasih nang sudah tiada
Tinggalkan ulun saurangan
Jadi malaikat di surga Ilahi

Marista,,, aku marista
Kada ingatkah pian lawan janji
Akan slalu ada gasan ulun
Kanapa pian tinggalkan ulun

Hilang & Lenyap

Hilang & Lenyap 
wanyi mandarunG

Diam ,,,
Tanpa ada yang kuucapkan
Tak ada satupun kata yang terucap
Tak bergerak sedikitpun
Tak goyah walau di terpa apapun

Sunyi ,,,
Tak ada apapun
Tak ada yang bergerak
Tak ada yang berdesis
Dan tak ada suara sedikit pun

Lelap ,,,
Tak ada lagi canda
Tak ada lagi tawa
Tak ada lagi bahagia

CARA ORANG BANJAR "DOELOE" MENETAPKAN UKURAN BANGUNAN RUMAH

Oleh: Drs H Ramli Nawawi
Peneliti sejarah & nilai tradisional

Sudut pandang budaya orang Banjar "doeloe" tentang cara membangun rumah ini adalah hasil "bapapandiran" (bicara santai) ketika tahun 1980-an Penulis mengikuti Tim Survey Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru dalam kunjungan ke beberapa lokasi masyarakat penangkap ikan di Kabupaten Tanah Laut, ketika menginap di Desa Takisung sempat bertandang ke rumah seseorang "tetuha" masyarakat di daerah tersebut. Banyak ragam istiadat lama yang diceriterakan dalam suatu percakapan dengan anggota Tim Survey.
Di antara banyak aspek budaya orang Banjar "doeloe" yang hanya sedikit orang mengetahuinya adalah bagaimana orang Banjar "doeloe" menetapkan panjang dan lebar bangunan rumah yang dibangunnya. Sebaliknya orang lebih banyak tahu tentang berbagai "pamali" dari suatu bangunan rumah, seperti bangunan rumah yang bertingkat pada bagian belakang, dan sebagainya.
Orang Banjar "doeloe" dalam membangun rumah umumnya menggunakan ukuran '"depa" ada juga dengan meter. Namun untuk tepatnya diukur kembali dengan tapak kaki pemiliknya yang dilakukan secara bergantian dan bersambung, yakni tapak kaki kanan-kiri-kanan dan seterusnya.

Definisi Kebudayaan Menurut para Ahli

1.      Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2.      M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
3.      Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
4.      Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5.      William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima ole semua masyarakat.

KERAGAMAN KEBUDAYAN BANJAR

Masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang lalu selalu di identikan dengan Islam. Bentuk identifikasi ini tampak sekali ketika, dalam  banyak kasus orang-oarang Dayak yang memeluk Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”, bahkan Islam juga telah menjadi identitas masyarkat Banjar yang membedakannya dengan kleompok-kelompok di sekitarnya yang masih menganut religi sukunya.
Begitupun juga dalam fenomena kebudayaan. Persoalan interaksi Islam dengan budaya Banjar pada dasarnya melibatkan suatu pertarungan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari tuhan dengan nilai-nilai budaya, tradisi, buadaya, adat yang berasal dari manusia.
Manusia memalaui kemampuan nalar menghasilkan pengetahuan atau bahkan pengalaman dari pengalaman emperisnya membangun konstruksi realiatasnya dengan agama. Kontruksi yang bersifat kemanusia inilah yang kemudian dikenal dengan sebagai tadisi, adat atau secara umum disebut”budaya” kemanusian, walau kedua bentuk kontruksi ini bersikukuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Ketegangan antara agama dan budaya telah menjadi gejala universal semua masyarakat yang secara sengaja membangun sistem religinya lewat akomodasi terhadap produk sistem kepercayaan yang ada diluar proses internal kebudayaan setempat.

Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua

Diranah Banjar, terdapat beberapa sub etnis dengan budaya, perilaku dan kearifan lokal masing-masing. Sudah jamak disini, ketika muncul ketentuan baku yang entah mendapatkan legalitas dari mana, tentang pembagian keahlian berdasarkan sub etnis dan perilaku yang dianut. Bagaimana dimasyarakat Banjar, urang (penduduk, red) Rantau dan Kandangan diidentikkan sebagai pelindung, urang Barabai, Amuntai dan Nagara sebagai kaum pebisnis, urang Kelua sebagai ahli perkebunan dan urang Martapura sebagai imam.
Semua tak lepas dari budaya, perilaku dan kearifan lokal yang dianut setiap sub etnis yang ada. Salah satunya adalah perilaku (atau budaya?) urang Rantau dan Kandangan yang tak terpisah dari senjata tajam (disini dikatakan sebagai belati, karena sajam bermakna universal atas senjata, sedang urang kita banua mengistilahkan sajam yang sering dibawa, lebih spesifik lagi dengan sebutan belati atau balati bila dilafalkan dalam bahasa Banjar Pahuluan).
Sebelum berbicara tentang membawa belati sebagai suatu perilaku dan budaya masyarakat, perlu digarisbawahi bahwa urang Rantau dengan urang Kandangan adalah satu kesatuan sub etnis Banjar. Hal itu dibuktikan dengan kesamaan atau kemiripan budaya, bahasa dan ciri fisik

Nasib Sang Seniman Itu…

Pengantar:
Perkembangan seni tradisional di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sungguh teramat sangat memprihatinkan. Padahal disebuah desa di kabupaten itu, dulunya terkenal sebagai sentra kesenian yang melahirkan banyak sekali seniman handal. Kini, semua bak tersapu badai Tsunami. Bahkan, dua kesenian tradisional, Tari Baksa Kambang dan Musik Panting yang diciptakan oleh urang asli Barabai, terancam punah. Tragis memang.
Adalah Abdul Wahab Syarbaini, atau biasa disapa Sarbai, pencipta Musik Panting dan salah seorang maestro dibidangnya, kini teronggok disudut ruang tengah rumahnya. Ia yang masih bertalian darah denganku itu, terlupakan setelah semua jasanya melahirkan seniman-seniman handal Banua ini. Tak ada sedikitpun bentuk kepedulian dan simpatik dari pemerintah daerah setempat. Aku terperanggah dan tergugah. Sedemikian parahkan keacuhan pemerintah terhadap seniman???
Tulisan yang dimuat pada kolom Budaya, Tabloid Urbana ini, aku persembahkan untuk sang maestro, Abdul Wahab Syarbaini dan pemerintah daerah HST atas kemampuan mereka untuk bersikap acuh…
***

Rabu, 25 Mei 2011

HUBUNGAN ISLAM DAN BANJAR

Masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang lalu selalu di identikan dengan Isalam. Bentuk identifikasi ini tampak sekali ketika, dalam  banyak kasus orang-oarang Dayak yang memeluk Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”, bahkan Islam juga telah menjadi identitas masyarkat Banjar yang membedakannya dengan kleompok-kelompok di sekitarnya yang masih menganut religi sukunya, boleh jadi inilah yang menyebabkan antropolog Judith Nagata beberapa tahun lalu mengatkan bahwa Banjar adalah salah satu suku di indonesia dimana identitas kesukuan bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, agama ya suku, suku ya agama, kebanjaran sejajar dengan Islam (Hairul Salim, Djohan Effendi:Kosmopolitanisme Se”urang Banjar dalam Sang Pelintas Batas; Biografi Djohan Effendi, 2009, XVII). Jika memang asumsi ini benar, maka bisakah kemudian etnisitas Banjar dapat diasumsikan sebagai produk dari kehadiran Islam? Ataukah Banjar telah ada jauh sebelum hadirnya islam, lalu berasal darimanakan etnisitas banjar?

Selasa, 24 Mei 2011

Bubuhan


Bubuhan (Banjar), Bubohan (Melayu Kayung), Bubuan (Tidung) adalah unit kesatuan famili atau kekerabatan biasanya sampai derajat sepupu dua atau tiga kali, bersama para suami atau kadang-kadang dengan para istri mereka. Anggota bubuhan tinggal di rumah masing-masing, (dahulu) dalam suatu lingkungan yang nyata batas-batasnya. Di antara anggota bubuhan ini terdapat seseorang yang menonjol sehingga dianggap sebagai pemimpin bubuhan yang disebut tatuha bubuhan.
Pemukiman terbentuk dari satu atau beberapa bubuhan. Pemukiman bubuhan ditandai dengan tinggalnya sekelompok kekerabatan di sekitar rumah tua yang merupakan rumah bubuhan. Rumah bubuhan biasanya ditinggali oleh garis keturunan perempuan.
Pengislaman bubuhan
Suku bangsa Melayu — yang menjadi inti masyarakat Banjar — memasuki daerah ini ketika dataran dan rawa-rawa yang luas — yang kini membentuk bagian besar Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah — masih merupakan teluk raksasa yang jauh menjorok ke pedalaman.
Suku bangsa Melayu ini,- dengan melalui Laut Jawa-memasuki teluk raksasa tersebut, lalu memudiki sungai-sungai yang bermuara ke sana, belakangan menjadi cabang-cabang sungai Negara, yang semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus. Mereka disertai kelompok bubuhannya, dan oleh elit daerah, juga diikuti warga bubuhannya, dan seterusnya sampai bubuhan rakyat jelata di tingkat bawah.
Dengan masuk Islam-nya para bubuhan, kelompok demi kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah menjadi identitas orang Banjar dan merupakan cirinya yang pokok, meskipun pada mulanya ketaatan menjalankan ajaran Islam tidak merata.