Kamis, 26 Mei 2011

Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua

Diranah Banjar, terdapat beberapa sub etnis dengan budaya, perilaku dan kearifan lokal masing-masing. Sudah jamak disini, ketika muncul ketentuan baku yang entah mendapatkan legalitas dari mana, tentang pembagian keahlian berdasarkan sub etnis dan perilaku yang dianut. Bagaimana dimasyarakat Banjar, urang (penduduk, red) Rantau dan Kandangan diidentikkan sebagai pelindung, urang Barabai, Amuntai dan Nagara sebagai kaum pebisnis, urang Kelua sebagai ahli perkebunan dan urang Martapura sebagai imam.
Semua tak lepas dari budaya, perilaku dan kearifan lokal yang dianut setiap sub etnis yang ada. Salah satunya adalah perilaku (atau budaya?) urang Rantau dan Kandangan yang tak terpisah dari senjata tajam (disini dikatakan sebagai belati, karena sajam bermakna universal atas senjata, sedang urang kita banua mengistilahkan sajam yang sering dibawa, lebih spesifik lagi dengan sebutan belati atau balati bila dilafalkan dalam bahasa Banjar Pahuluan).
Sebelum berbicara tentang membawa belati sebagai suatu perilaku dan budaya masyarakat, perlu digarisbawahi bahwa urang Rantau dengan urang Kandangan adalah satu kesatuan sub etnis Banjar. Hal itu dibuktikan dengan kesamaan atau kemiripan budaya, bahasa dan ciri fisik
.
Mereka menjadi berbeda ketika terpisahkan oleh batas teritorial administratif pemerintahan akibat dari pemekaran wilayah. Dari asal katanya, Rantau yang berarti perantauan, terlihat bila daerah itu dihuni oleh sub etnis terdekatnya yaitu Kandangan, bukan sub etnis yang berbeda. Atau misalnya dari segi bahasa, dimana terdapat kemiripan antara bahasa urang Rantau dengan bahasa urang Sungai Raya, Kandangan, dengan ciri bahasa yang cepat, tinggi dan keras.
Dalam hal membawa belati pada urang Rantau dan Kandangan, disebabkan dua aspek yang saling berhubungan, yaitu sosiologis kultural dan geografis. Secara sosiologis kultural, urang Rantau dan Kandangan memiliki keterlambatan dalam hal transpormasi budaya. Keterlambatan itu sendiri, disebabkan letak geografis wilayah Rantau dan Kandangan yang lebih kedaratan atau pedalaman.
Etnis Banjar yang mendiami daerah pesisir, seperti Banjar sendiri, Nagara, Amuntai dan Alabiu, mengalami transpormasi nilai budaya yang lebih cepat. Karena merekalah yang pertama berinteraksi dengan pihak luar. Berbeda dengan urang Rantau dan Kandangan. Letak geografis yang lebih kedarat, membuat sub etnis ini mempunyai tatanan hidup lebih keras dan toleransi budaya lebih kaku.
Kondisi itu akhirnya membentuk pola dan tatanan hidup yang harus disesuaikan dengan kondisi alam. Hal tersebut berpengaruh langsung pada pola mata pencarian, yaitu berkebun, berhuma dan berburu. Pola itu akhirnya mengharuskan masyarakat dari sub etnis ini senantiasa berlaku protektif dengan membekali diri dengan senjata tajam.
Hal tersebut dikuatkan oleh pandangan dari H Rody Ariadi Noor, seorang tokoh masyarakat Kota Rantau. Dikatakannya, budaya membawa belati pada urang Rantau karena patokan harga diri yang sangat tinggi dan sikap protektif terhadap keluarga.
“Tingginya patokan harga diri pada urang Rantau, menjadikan mereka terkadang over protektif terhadap keluarga. Bila ada keluarga atau kawan yang diganggu orang, mereka siap tampil untuk membela. Ini salah satu penyebab budaya belati yang melekat pada diri urang Rantau,” ujarnya.
Letak geografis dan pola hidup yang keras, memunculkan sebuah konsep bubuhan (kekerabatan, red). Dimana konsep bubuhan ini hanya terdapat pada urang Rantau dan Kandangan. Sedang pada sub etnis Banjar yang lain, seperti sub etnis Banjar pesisir dan Banjar sendiri, mempunyai igelilter atau tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap pengaruh luar.
Tuntutan pola pencarian yang mengharuskan mereka berinteraksi dengan pendatang, membuat sub etnis ini lebih terbuka terhadap transformasi budaya. Selain itu, pada sub etnis Banjar yang nota bene adalah kalangan istana ini, mengharuskan mereka menganut budaya sopan santun yang lebih kental.
Pola hidup berburu dan berkebun pada urang Rantau dan Kandangan, menjadikan resestensi kehidupan mereka kental dengan budaya membawa senjata tajam, dalam hal ini belati. Namun penggunaan belati disini, lebih merujuk kepada upaya untuk survive, karena kondisi alam yang keras.
Hal itu diperkuat pernyataan Madi, seorang warga Rantau yang sering membawa belati. Menurutnya, budaya belati pada urang Rantau semata untuk menjaga diri. “Bagi urang Rantau, belati adalah teman. Bila tidak membawa belati seakan tidak berteman. Karena menurut keyakinan mereka, hanya belati yang mampu melindungi bila sesuatu terjadi. Sedang kawan bisa saja lari,” ujarnya
Budaya ini, dikalangan urang Rantau dan Kandangan boleh saja dianggap biasa dan bukan tabu, karena faktor-faktor tadi. Namun kondisi ini, bagaimanapun juga memunculkan paradigma baru dikalangan sub etnis Banjar lainnya. Karena mereka tak bersentuhan dengan budaya ini, maka orang yang membawa belati dianggap sebagai urang harat (orang yang hebat, red) atau wani (berani, red).
Pada urang Rantau dan Kandangan, terjadi penilaian terbalik. Di sub etnis ini, justru budaya membawa belati menandakan yang bersangkutan kada harat atau kada wani (tidak hebat, tidak berani, red). Dalam perspektif mereka, urang nang wani dan harat (orang yang berani dan hebat, red) tidak mengandalkan keberadaan belati. Karena pada urang harat dan wani, tercakup kemampuan akan Kuntau (semacam Pencak Silat, red), jagau (jagoan, pemberani,  red) dan taguh (kebal, red), sehingga tidak tergantung pada keberadaan sebuah belati.
Aspek geografis yang membentuk pola hidup, dipandang pengamat Sosial Kemasyarakatan dari FISIP UNLAM Banjarmasin, Taufik Arbain, sebagai faktor dominan pembentukan karakter keras dan budaya belati pada sub etnis Banjar ini.
“Konsep bubuhan yang ada pada urang Rantau dan Kandangan, disatu sisi memunculkan sikap solidaritas yang sangat tinggi. Hingga pada masyarakat Banjar, muncul pribahasa samuak saliur (pribahasa Banjar, artinya kurang lebih sama dengan senasib sepenanggungan, red) dan makanan dimuntung gin diluak sagan kawan (makanan dimulutpun diberikan untuk teman, red) bagi urang Rantau dan Kandangan atau kada titik banyu diganggaman (istilah bahasa Banjar untuk orang yang pelit, red) bagi urang Halabiu,” ujar Taufik yang juga pengamat politik dan Ketua Litbang Dewan Kesenian Kalimantan Selatan.
Karakteristik alam yang keras membentuk jiwa, budaya dan perilaku keras dan tegas pada urang Rantau dan Kandangan. Konsep bubuhan dengan letak pemukiman yang berjauhan, mengharuskan mereka berbicara dengan keras, tegas dan nyaring.
Budaya belati dan tingkat solidaritas pertemanan yang tinggi dikalangan urang Rantau dan Kandangan, memang tak bisa dipungkiri. Berbeda dengan sub etnis Banjar pesisir yang lebih berorientasi kepada bisnis. Yang mana pada sub etnis ini lebih mengutamakan perhitungan untung rugi dan tawar menawar.
Budaya belati semakin konkrit manakala urang Rantau dan Kandangan dihadapkan pada masalah yang prinsifil dan bersinggungan dengan harga diri. Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa bangsa Belanda hanya mempercayakan pembukaan lahan perkebunan tembakau, sekitar abad ke-18, di Sumatra kepada urang Kandangan saja. Bukan kepada urang Jawa, Sulawesi atau sub etnis Banjar yang lain. Bagaimanapun juga, Belanda mengakui kehebatan urang Kandangan dalam merambah hutan. Peristiwa itu akhirnya membuka jalan migrasi bagi sub etnis Banjar lainnya ke Tembilahan, Riau dan Malaysia.
Tapi karena kerasnya karakteristik dan ketegasan sikap urang Kandangan, mereka enggan menjadi pekerja yang berada dibawah kekuasaan. Hingga mereka lebih memilih sebagai pekerja tanpa ikatan.
Kekerasan dan ketegasan yang ditampil urang Rantau dan Kandangan pulalah  yang akhirnya memicu terjadinya migrasi mereka kebeberapa wilayah, seperti ke Kota Gambut misalnya. Ketika ditempat asal dikuasai oleh satu pihak, mereka lebih memilih madam (pindah/migrasi, red) daripada tunduk pada kekuasaan tersebut.
Akhirnya mungkin dapat ditarik satu benang merah, dimana perilaku dan budaya belati pada urang Rantau dan Kandangan, terbentuk karena keharusan untuk survive yang disebabkan oleh faktor geografis. Dimana hal tersebut, akhirnya menjadikan mereka lebih lambat dalam menerima transformasi budaya luar.
Kekuatan paradigma itu akhirnya terbawa hingga sekarang. Pertentangan aturan yang dibuat pemerintah, tak sanggup melunturkan nilai budaya nenek moyang mereka. Karena peran orang tua bahari yang menyuruh anaknya untuk membawa belati bila bepergian, lebih kental dan lebih kuat tertanam dari pada dogma pemerintah, yang bagi sebagian mereka dianggap sebagai penguasaan atau penaklukan dalam bentuk baru.
Bawa balati tu nah mun bajalan. Mun ada apa-apa ngalih kaina. Lain mun urang nang wani, ayuha kada bagagaman (Bawa belati bila mau bepergian. Susah nanti kalau ada apa-apa. Kalau  orang yang berani tidak apa-apa pergi tanpa senjata),”. Inilah dogma terbesar dan mendasar hingga membuat budaya belati melekat dengan erat dikalangan urang Rantau dan Kandangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar