Kamis, 26 Mei 2011

KERAGAMAN KEBUDAYAN BANJAR

Masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang lalu selalu di identikan dengan Islam. Bentuk identifikasi ini tampak sekali ketika, dalam  banyak kasus orang-oarang Dayak yang memeluk Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”, bahkan Islam juga telah menjadi identitas masyarkat Banjar yang membedakannya dengan kleompok-kelompok di sekitarnya yang masih menganut religi sukunya.
Begitupun juga dalam fenomena kebudayaan. Persoalan interaksi Islam dengan budaya Banjar pada dasarnya melibatkan suatu pertarungan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari tuhan dengan nilai-nilai budaya, tradisi, buadaya, adat yang berasal dari manusia.
Manusia memalaui kemampuan nalar menghasilkan pengetahuan atau bahkan pengalaman dari pengalaman emperisnya membangun konstruksi realiatasnya dengan agama. Kontruksi yang bersifat kemanusia inilah yang kemudian dikenal dengan sebagai tadisi, adat atau secara umum disebut”budaya” kemanusian, walau kedua bentuk kontruksi ini bersikukuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Ketegangan antara agama dan budaya telah menjadi gejala universal semua masyarakat yang secara sengaja membangun sistem religinya lewat akomodasi terhadap produk sistem kepercayaan yang ada diluar proses internal kebudayaan setempat.
Masyarakat Banjar kaya dengan berbagai fenomena dan ritual budaya yang bersifat khas. Salah satu di antaranya adalah ritual mandi taguh atau mandi kebal, yang dilakukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam maupun senjata api.
1.   MANDI TAGUH
Dalam tutur sejarah lisan Banjar, tokoh yang terkenal memiliki dan dianggap sebagai icon dalam ilmu kekebalan tubuh dimaksud adalah Datu Karipis, yang kebal kulitnya, tahan dari senjata tajam maupun senjata api dan dikatakan seperti besi badannya. Datu Karipis berasal dari daerah Muning, Tatakan, Rantau. Oleh masyarakat Muning, dia diyakini sebagai salah seorang murid (murid yang keempat) dari Datu Suban, yang merupakan mahaguru dari para datu di Muning.
Sebagai salah satu dari ilmu kebatinan yang ada di Kalimantan dan dimiliki oleh orang-orang zaman dulu sebagai syarat kehebatan, keperkasaan, alat pelindung diri, dan menjadi andalan para pejuang Banjar dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan, ilmu kebal dipercaya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Bahkan ada anggapan, jika ilmu kebal hanya didapat dan diwariskan berdasarkan garis keturunan.
Dalam kepercayaan masyarakat Banjar orang yang memiliki ilmu kekebalan itu bisa dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang kebal tubuhnya sejak pertama kali dilahirkan, sebab ketika dia lahir dalam keadaan terbungkus oleh kulit atau yang sering disebut orang Banjar "lahir bakulubut". Disebut dengan taguh bungkus atau taguh basalumur. Kedua, kelompok yang memiliki ilmu kebal setelah melalui proses tertentu.
Untuk mendapatkan kekebalan tubuh, memang banyak ritual yang biasa dilakukan oleh orang Banjar.

  1. Ada yang mendapatkan kekebalan tubuh dimaksud karena memakai jimat-jimat tertentu yang berwujud wafak-wafak. Rumusan-rumusan wafak ditulis di atas kertas, di atas baju dalam pria (baju barajah/ baju bawafak) atau dituliskan (dirajahkan) pada punggung, ditulis di cincin atau benda lainnya. Wafak yang ditulis di atas kertas dan dibungkus dengan kain kuning atau kain hitam disebut jimat. Jimat ini biasanya ditaruh di peci, dikalungkan atau ditaruh di kantong baju. Ada juga yang dijadikan ikat pinggang yang disebut babatsal. Ada juga wafak yang ditulis di atas kertas lalu diuntal (ditelan). 
  2. ada yang mendapat kekebalan tubuh karena memakai benda-benda tertentu yang dianggap mengandung aura gaib dan kesaktian (mana), misalnya picis mimang, rantai babi, cemeti, besi kuning atau wasi tuha, mustika ular, dan lain-lain. Rantai babi adalah benda yang terdapat di leher salah seekor babi liar (rajanya). Besi kuning adalah besi yang ditemukan dalam sarang tabuan pipit yang sudah sangat tua. Tabuan pipit adalah sejenis lebah penyengat yang sangat berbisa, dan besi kuning konon adalah batu tempat mengasah sengatnya. Wasi tuha (besi tua) adalah sebutan untuk senjata kuno yang diwarisi turun-temurun, seperti keris, parang bungkul, mandau, tombak, badik, taji, dan lain-lain.
  3. Mereka yang kebal karena meminum minyak-minyak sakti seperti minyak gajah, minyak rangka hirang dan atau minyak bintang. Bisa juga dengan menelan benda-benda tertentu (untalan). 
  4. Mereka yang memiliki kekebalan tubuh dengan cara melakukan pertapaan atau semedi dengan mengamalkan bacaan-bacaan tertentu secara berulang-ulang, yang dalam bahasa Banjar disebut dengan balampah. Balampah juga sering berarti berpantang sesuatu selama waktu tertentu dalam rangka mencapai sesuatu. Menurut cerita, kegiatan balampah untuk memperoleh kekebalan konon banyak dilakukan orang Banjar pada saat perang kemerdekaan dan perang dengan Portugis (tahun tujuh puluhan. Sehingga, pada tahun tujuh puluhan, banyak orang datang ke Kampung Dalam Pagar (Martapura) guna memperoleh jimat, baju bawafak atau barajah, babatsal, dan yang lainnya untuk mendapatkan kekebalan. 
  5. mereka yang memiliki kekebalan karena mengamalkan bacaan tertentu (melalui wiridan), antara lain yang berwujud ayat Alquran, Hizb (pertahanan), syair atau pantun, dan bacaan-bacaan lain yang terkadang dicampur dengan rumusan bahasa Banjar. 
  6. mereka yang mendapatkan kekebalan tubuh melalui ritual mandi, yang disebut dengan mandi taguh atau mandi kebal.
Umumnya, ritual mandi taguh dilakukan oleh mereka yang ingin bepergian jauh (madam) baik dalam rangka untuk menuntut ilmu maupun berusaha (berdagang, mendulang), mereka yang akan melaksanakan tugas berat (misalnya tentara atau polisi yang ditugaskan di daerah-daerah konflik) atau mereka yang merasa terancam jiwanya.
Menurut informasi, kitab-kitab klasik, seperti Taj al-Muluk, Dhairoby, Syamsul Ma’arif, Mujarabat, Senjata Mu’min, Aufaq al-Gazali dan sejenisnya merupakan referensi utama guru pemandian dalam mempelajari dan mendasari hal-hal yang harus dilakukan ketika melaksanakan prosesi mandi taguh.
Mengapa, mandi menjadi salah satu media penting bagi orang Banjar untuk mendapatkan kekebalan tubuh? Dalam pemahaman masyarakat Banjar, air menjadi sebuah media penting untuk mendapatkan penyembuhan atau suatu kekuatan, termasuk kekebalan tubuh. Orang Banjar meyakini, karena manusia berasal dari air, maka air pulalah yang menyebabkan dia menjadi seorang yang memiliki kekuatan tertentu. Air tidak bisa dipatahkan, air tidak bisa ditebas dengan pedang, ditombak, dan seterusnya, air akan tetap kembali ke bentuknya semula. Boleh jadi pemahaman ini akhirnya mendorong orang Banjar melakukan ritual mandi taguh untuk mendapatkan kekebalan tubuh.
Adanya pemakaian tulisan Arab dan bacaan-bacaan yang dibaca dalam bahasa Arab, menyiratkan adanya pengaruh Islam terhadap prosesi atau ritual mandi taguh. Walaupun, pemakaian benda-benda yang lain, seperti kain kuning, mantra, dan sebagainya juga menyimbolkan adanya pengaruh dari Hindu-Budha, Animisme dan Dinamisme. Namun, masing-masing dari pengaruh tersebut terlihat dari orang yang melaksanakan ritual dan jalannya prosesi mandi taguh (pemandian). Di sini, terlihat bahwa ritual mandi taguh mengalami sinkritis antara ajaran Hindu-Budha, Animisme-Dinamisme dengan Islam.
Mandi taguh memperlihatkan adanya sebuah ritual khas yang telah dilakukan sejak masa dulu hingga sekarang oleh orang Banjar untuk melindungi diri mereka dari serangan senjata tajam.
Sampai kapankah ritual budaya ini dapat bertahan??..dan tentunya apapun ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk melindungi diri semata-mata semuanya karena izin Allah SWT.
2.  "BAAYUN ANAK"
(Tradisi Khas Bubuhan Banjar Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW)

Baayun anak adalah tradisi ibu-ibu masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan jika menidurkan anak bayinya dengan cara mengayun, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ayunan itu terbuat dari tapih bahalai atau kain kuning dengan ujung-ujungnya diikat dengan tali haduk ( ijuk ). Ayunan ini biasanya digantungkan pada penyangga plapon di ruang tengah rumah. Pada tali tersebut biasanya diikatkan Yasin, daun jariangau, kacang parang, katupat guntur, dengan maksud dan tujuan sebagai penangkal jin (mahluk halus) atau penyakit yang mengganggu bayi. Posisi bayi yang diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah "dipukung".
Mengayun anak ini ada yang mengayun biasa dan ada yang badundang. Mengayun biasa adalah mengayun dengan berayun lepas sedang mengayun badundang adalah mengayun dengan memegang tali ayunan. Yang lebih menarik adalah menidurkan anak ini sang ibu sambil bernyanyi, bernyanyi dengan suara merdu berayun-ayun atau mendayu-dayu. Lirik lagu ini sangat puitis. Liriknya seperti ini :

"Guring – guring anakku guring..Guring diakan dalam pukungan..Anakku nang bungas lagi bauntung..Hidup baiman mati baiman.."
Jika anaknya posisi berbaring lirik “ pukungan “ diganti dengan “ ayunan “.
Isi lirik ini adalah pujian anaknya yang cantik ( cakap ) dan doa agar anaknya kelak kuat imannya dalam agama sampai akhir hayatnya.
Seandainya anaknya masih rewel tidak juga mau tidur, biasanya sang ibu berkata : "His ! cacak ! anakku jangan diganggu inya sudah guring".

Baayun anak ini terkadang sengaja diadakan pada acara Maulid Nabi yakni tanggal 12 Rabiul Awal. Dengan maksud agar mendapat berkah kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada perkembangannya, maayun anak ini menjadi sebuah tradisi budaya yang setiap tahun digelar dengan istilah “ Baayun Maulud” Baayun Maulud ini sungguh berisi pesan-pesan religiusitas, filosofis dan local wisdom ( kearifan local ).
Menurut tatuha Banjar, upacara ini sebenarnya telah dikenal masyarakat Banjar sejak berdirinya Kerjaan Banjar. Dahulu upacara ini hanya diperuntukan pada anak-anak dari keluarga besar kerajaan yang lahir di bulan Safar. Mereka melaksanakan upacara ini dikarenakan bulan Safar dipercaya sebagai bulan yang penuh bala. Oleh karena itu untuk menghindari tertimpanya bala pada anak tersebut, maka sang anak wajib diayun sebagai bentuk ritual tolak bala. Namun belakangan, upacara ini juga populer dikalangan masyarakat kebanyakan, khususnya orang Banjar yang berada di daerah hulu sungai. Peruntukan upacara ini tidak lagi hanya bagi anak lahir dibulan Safar tapi juga pada anak-anak yang lahir dibulan-bulan lainnya.
Biasanya upacara baayun anak ini dilaksanakan di rumah-rumah atau dibalai desa, tetapi belakangan dilaksanakan di ruang utama mesjid supaya pelaksanaannya secara bersama-sama dalam jumlah yang banyak pula
Pada acara Baayun Anak ini, tiap ayunan dibuat dari tiga lapis kain, yakni kain kuning pada bagian luar, kemudian kain putih dan bagian dalam tapih bahalai (sarung panjang wanita bercorak batik). Sementara tali pengikat ayunan tersebut dihiasi janur dan anyaman kembang. Tidak kurang dari sembilan jenis janur yang menghiasi tali pengikat ayunan tersebut. Ada yang berbentuk burung, bunga, lipan, rantai, dan sebagainya. Selain itu, disetiap ayunan itu sendiri terdapat nama anak yang menempati ayunan tersebut.
Di bawah jajaran ayunan-ayunan tersebut, masing-masingnya terdapat “syarat” upacara yang dibuat dalam dua bentuk yang setelah acara selesai boleh dibawa pulang. Masyarakat Banjar biasa menyebutnya sebagai “piduduk”. Bentuk yang tersaji dalam piring makan diisi dengan lakatan (nasi ketan), kue apam, kue cucur, inti kelapa, telur ayam rebus, papari, pisang, dan tape ketan. Sedangkan yang tersaji dalam ember ukuran kecil diisi dengan beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya, sebungkus garam, dan gula merah. Sementara disetiap tiang utama mesjid diletakan "piduduk" pada dua buah piring makan, yaitu berisi beras ketan putih yang ditengah-tengahnya dihiasi dengan inti kelapa. Piring satunya berisi beras kuning yang ditengah-tengahnya juga diletakkan inti kelapa
Jamaahnya sendiri yang menghadiri dan menyaksikan acara tersebut memadati bagian sisi jajaran ayunan tersebut. Khusus jamaah laki-laki berjajar pada bagian depan ruang utama mesjid, tepatnya dibarisan depan jajaran ayunan. Sedangkan jamaah perempuan berada di sisi kiri-kanan dan belakang ayunan.
Prosesi acara ini dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru (Ulama) dengan diiringi irama tetabuhan rebana.
Syair-syair Maulid yang umum dibawakan pada acara Baayun Anak seperti Syair Mawlud Barjanzi, Mawlud Syaraf al-Anam atau Mawlud al-Dayba'i.
Pada saat Syair-syair tersebut dibacakan, tepatnya memasuki kalimat "asyraqal", ada kepercayaan dari orang-orang yang suka membaca kalimat itu adalah saat hadirnya ruh Nabi Muhammad di tengah-tengah jamaah. Mereka percaya bahwa ruh Nabi Muhammad hadir dalam rangka menebar keberkahan bagi mereka yang hadir. Biasanya pada saat kalimat itu dibacakan, semua jamaah langsung berdiri sebagai simbol penghormatan atas kehadiran ruh Nabi Muhammad SAW.
Pada saat moment pembacaan kalimat "asyraqal" itu, kekhusyu'an tampak sekali pada ibu-ibu pemilik anak yang sedang diayun itu. Mereka begitu khidmat ikut melantunkan kalimat-kalimat itu sambil mengangkat anaknya ke pangkuan. Pada saat yang bersamaan, Tuan Guru yang memimpin pembacaan Syair Maulud berjalan ke arah ibu-ibu untuk memberikan "tapung tawar" pada masing-masing anak tersebut.
Tapung tawar adalah tahap prosesi dalam memberi berkat dari acara tersebut dengan mengusap jidat setiap anak dan mencipratinya dengan air khusus yang biasanya disebut dengan air "tutungkal" yang terdiri dari campuran air, minyak buburih, dan rempah-rempah.
Setelah selesai prosesi ini, jamaah duduk dan ditutup dengan pembacaan do'a yaitu do'a khatam al-mawlud. Selanjutnya dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran dan ceramah yang disampaikan oleh seorang da'i. Setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, biasanya ditutup dengan acara makan bersama.
Selesai prosesi Baayun Anak, terasa ada kelapangan di hati masing-masing jamaah karena telah menunaikan kebiasaan adat turun-temurun mereka tanpa harus bersitegang dengan keyakinan religius yang mereka anut. Keharmonisan adat dengan agama tampak sekali dalam upacara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar