Rabu, 25 Mei 2011

HUBUNGAN ISLAM DAN BANJAR

Masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang lalu selalu di identikan dengan Isalam. Bentuk identifikasi ini tampak sekali ketika, dalam  banyak kasus orang-oarang Dayak yang memeluk Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”, bahkan Islam juga telah menjadi identitas masyarkat Banjar yang membedakannya dengan kleompok-kelompok di sekitarnya yang masih menganut religi sukunya, boleh jadi inilah yang menyebabkan antropolog Judith Nagata beberapa tahun lalu mengatkan bahwa Banjar adalah salah satu suku di indonesia dimana identitas kesukuan bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, agama ya suku, suku ya agama, kebanjaran sejajar dengan Islam (Hairul Salim, Djohan Effendi:Kosmopolitanisme Se”urang Banjar dalam Sang Pelintas Batas; Biografi Djohan Effendi, 2009, XVII). Jika memang asumsi ini benar, maka bisakah kemudian etnisitas Banjar dapat diasumsikan sebagai produk dari kehadiran Islam? Ataukah Banjar telah ada jauh sebelum hadirnya islam, lalu berasal darimanakan etnisitas banjar?
Cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya. Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar.
Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Mengapa Islam ? Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak memeluk agama Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri).
Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai akulturasi dan asimilasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar. Itulah sebabnya kira- kira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.
Namun kiranya, apa yang di tuliskan alpani daud dalam bukunya ini tidak lah menjadi sebagai sebuah mitos dalam menggali studi Islam Banjar .Menurut Marko Mahin, ditengah muncul kecenderungan studi Islam Banjar yang seolah-olah menempatkan etnis Banjar sebagai suatu yang give  sesuatu dari sananya, marco mencurigai telah terjadi kesalahan membaca Hikayat Bandjar yang di tulis oleh J.J.Ras, yaitu  Tanjung Pura as name for the oldes Banjarese kraton, masyarkat banjar telah terbentuk dengan terbentuknya kerajaan Tanjung Pura. Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba halus yang menjerat dengan tanpa disadari.
 Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap penduduk  pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis (1894: 16) bahwa “Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak”. Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (1928: 48) bahwa “Suku Banjar adalah suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu”. Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku Melayu. Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar atau sebagai the oldest Bandjarese (Agama dan Etnisitas; Kajian Tentang Asal Usul Pembentukan Etnis Banjar Jurnal Kebudayaan Kandil edisi 6 tahun II, hal 76) Akibatnya, dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar, kesimpulan yang sempit dan sederhana sering diderivasi dengan mengatakan “Banjar bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama” atau “Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku”. Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar”. (  Ibid, hal 77).
Namun yang perlu dipahami adalah mengapa terjadi sejak berabad-abad  urang Banjar selalu di identikan dengan Islam?. Hal ini tidak lain karena memang merupakan kebutuhan dasar dari sebuah usaha untuk meneguhkan kontuksi sosial masyarkat Banjar yang telah di bangun. Dalam uraaian lainnya Menurut Alfani Daud masyarkat Banjar mengikuti pendekatan primordialisme ialah penduduk asli sebagian wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, yaitu selain Kabupaten Kota Baru. Mereka itu di duga berintikan penduduk asal Sumatra atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru disekitar ini lebih dari seribu tahun yang lalu.
Setelah berlalu masa yang lama, akhirnya bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya secara umum dianmakan suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang datang belakangan terbentuklah setidaknya tiga subsuku, yaitu Banjar Pahuluan yang pada asanya ialah penduduk darah lembah sungai-sungai(cabang sungai negara) yang berhuhu kepegungungan meratus, Banjar Batang Banyu, mendiami lembah sungai negaradan yang terakhir adalah Banjar Kuala mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar yang pada asasnya dalah bahasa melayu. Nama “Banjar” diperoleh karena mereka dahulu sebelumnya dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga kesultanan Banjarmasin atau yang disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibokotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan arah kepedalaman, terakhir di Martapura nama tersebut nampak sudah baku atau tidak berubah lagi.
Sangat mungkin pemeluk Islam sudah ada sebelumnya pada saat itu di sekitar Keraton yang dibangun di Banjarmasin, namun pengislaman massal di duga terjadi setelah raja,  Pangeran Samudra yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah memeluk islam di ikuti oleh warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Dengan masuk Islamnya para bubuhan, kelompok demi kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah menjadi identitas orang Banjar dan merupakan ciri yang pokok.
Dapat dikatakan bahwa pada tahap permulaan perkembangan Islam tersebut, kebudayaan Banjar telah memberi bingkai dan Islam telah terintegrasi kedalamnya. Dengan masuk Islamnya bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai bagian dari kebudayaan bubuhan, tidak mengherankan bila ketika itu ungkapan keislaman secara berkelompok lebih dominan dibanding ibadah perorangan. Namun orang Banjar berusaha belajar mendalami agamanya serentak ada kesempatan untuk itu, sehingga akhirnya orang Banjar secara relatif dapat digolongkan orang yang taat menjalankan agamanya. Oleh sebab itu tidak mengherankan Banjar sejak berabad-abad yang lalu selalu di identikan dengan Islam (hal 4). Asumsi semacam ini sesungguhnya ingin menegaskan bahwa keberislaman selain merupakan aspek integratif, tapi juga lebih mendasar lagi sebagai aspek ontologis dan kognitif orang Banjar (Irfan noor, Islam dan Universum-simbolik Urang Banjar, dalam Jurnal Kebudayaan Kandil edisi 6 tahun II, hal 66).
Dalam posisi ini, sesungguhnya Islam harus di lihat dalam memerankan fungsi sosial dalam struktur masyarkat Banjar. Hal demikianlah yang pada akhirnya menempatkan agama menjadi identitas simbolik suatu masyarakat. Setidaknya inilah yang di unggap oleh Clifford geertz, bahwa simbol-simbol keagamaan tertentu yang di bangun dalam masyarakat mampu memuat makna dan hakikat dari dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup dalam masyarakat. Simbol-simbol  keagamaan seperti ini mampu untuk menggiring bagaimana seseorang merasa cocok untuk dunianya.  Bilamana kecocokan sudah dijadikan kepercayaan umum, maka tidak mengherankan jika tujuan utama sebuah masyarkat diperteguh kembali dan diulang-ualang dalam berbagai bentuk prilaku keagamaan.(Irfan noor, Ibid, hal 65).  Demikian posisi Islam dan masyarkat Banjar bisa dipahami, Islam dalam kontek asal-usul dan kontruksi masyarkat Banjar  selain berfungsi sebagai sesuatu yang merefleksikan tempat ikatan sosial itu dikokohkan, juga secara lebih transenden yang memberi  dasar ontologis dan eksistential bagi individu-individu yang terlibat didalamnya.
 Tetapi bagaimanpun buku Islam dan Masyarkat Banjar; Diskripsi Dan Analisa Kebudayaan Banjar  karya Alpani Daud ini diantara kelebihan dan kekuranganya harus dilihat sebagai sebuah momentum untuk kita memikirkan kembali bagaimana membangun dan mengembangkan Pusat Studi Islam Banjar yang mampu relevan dengan perubahan sosial yang ada.  Ketika studi Islam Banjar masih berkisar dalam kesimpulan: “Banjar adalah Islam dan Melayu adalah Islam, sehingga urang Banjar adalah Melayu yang sudah pasti Islam”, maka kesimpulan itu sama dengan mengarahkan pandangan urang Banjar atas dirinya secara monolitik. Akibat yang lebih jauh, kita justru secara sadar membangun sikap tidak peduli dengan adanya kekayaan khazanah lokal daerah kita di luar ranah “Banjar adalah Islam”.

Oleh : wanyi mandarunG
Sumber tulisan :
 Daud,Alfani. Islam dan Masyarkat Banjar; Diskripsi Dan Analisa Kebudayaan Banjar.1997. PT.Rajawali pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar