Kamis, 26 Mei 2011

Nasib Sang Seniman Itu…

Pengantar:
Perkembangan seni tradisional di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sungguh teramat sangat memprihatinkan. Padahal disebuah desa di kabupaten itu, dulunya terkenal sebagai sentra kesenian yang melahirkan banyak sekali seniman handal. Kini, semua bak tersapu badai Tsunami. Bahkan, dua kesenian tradisional, Tari Baksa Kambang dan Musik Panting yang diciptakan oleh urang asli Barabai, terancam punah. Tragis memang.
Adalah Abdul Wahab Syarbaini, atau biasa disapa Sarbai, pencipta Musik Panting dan salah seorang maestro dibidangnya, kini teronggok disudut ruang tengah rumahnya. Ia yang masih bertalian darah denganku itu, terlupakan setelah semua jasanya melahirkan seniman-seniman handal Banua ini. Tak ada sedikitpun bentuk kepedulian dan simpatik dari pemerintah daerah setempat. Aku terperanggah dan tergugah. Sedemikian parahkan keacuhan pemerintah terhadap seniman???
Tulisan yang dimuat pada kolom Budaya, Tabloid Urbana ini, aku persembahkan untuk sang maestro, Abdul Wahab Syarbaini dan pemerintah daerah HST atas kemampuan mereka untuk bersikap acuh…
***
Sarbai, Maestro Yang Terlupa
Karuang Bulik, Simbangan Laut dan Naga Salimburan yang terukir di ujung atau kepala Panting itu dibelainya. Perlahan. Itu dilakukannya sebelum mengangkat dan meletakkan alat musik tradional sebentuk gitar itu kepangkuannya. Sebelum dawai dipetik, tangan kanannya terlebih dahulu mengusap badan Panting yang berukirkan Mayang Bungkus, Mayang Bunting dan Mayang Maurai.
Dan, melantunlah dentingan irama Panting. Syahdu dan merdu. Terkadang lembut, terkadang rancak. Mempesona ditelinga hingga tak terasa kepala mengangguk dan badan ikut bergoyang mengikuti irama.
Aduhai, bila saja Abdul Wahab Syarbaini, sang pemetik Panting itu memainkannya dalam kondisi normal, tentu lebih mempesona lagi. Tetapi, meski ia yang lebih dikenal dengan nama Sarbai itu kini tengah sakit, tak mengurangi kepiawaiannya memainkan dawai-dawai Panting.
“Abah kecelakaan. Sudah lebih dari satu bulan ini, beliau tidak bisa berdiri karena kaki kirinya patah,” ujar Lufi, anak sulung Sarbai.
Sarbai, lelaki kelahiran tahun 1954 di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) itu, mewarisi bakat seni dari ayahnya. Debut pertamanya dibidang seni tradisional dimulai ketika mempelajari seni tradisional Japin atau Bajapin. Tahun 1969, sang ayah, Pambakal Sasera, mewariskan Sanggar Seni Taruna Mekar kepada Sarbai. Tahun 1973, nama Taruna Mekar digantinya dengan Sanggar Ading Bastari.
“Pertimbangan waktu itu, ingin mencari nama yang lebih ke-Banjar-an. Ading Bastari berarti Pambungsunya (bungsu-red) atau  group paling muda. Karena memang waktu itu, banyak sanggar seni yang lebih dahulu ada di Barikin,” ujar Sarbai seraya memijit-mijit kaki kirinya.
Sejak berdirinya Ading Bastari, perkembangan berkesenian di Barikin maju pesat. Tingginya tingkat remaja putus sekolah, membuat Sarbai mudah melakukan perekrutan calon pekerja seni baru. Seiring dengan itu, kesenian tradisional mencapai puncak keemasan. Karena profesi pekerja seni dianggap menjanjikan.
Sarbai yang semula hanya mendalami Japin, mulai mempelajari seni lain dan berhasil menguasainya. Ia bahkan pernah menjuarai Festival Dalang Remaja se-Kalsel, untuk kategori Wayang Purwa Banjar, tahun 1978.  Di sanggar pimpinannya tergabung puluhan pekerja seni. Ada yang mahir Bajapin, Bawayang, Bamanda, Kuda Gipang dan lain-lain. Semua di latih dan diketuai Sarbai.
Kepiawaian Sarbai, membuat ia terkenal dan dikenal. Hingga ditahun 1978 sampai 1980, pihak provinsi meminta ia melatih bibit-bibit seniman baru. Tiga tahun waktu yang dihabiskannya menjadi pelatih seni di Taman Budaya Banjarmasin, cukup untuk melahirkan seniman-seniman seni tradisional yang ada kini.
Sarbai melatih bukan hanya di sanggar miliknya, di Barikin. Ia juga diminta melatih di beberapa daerah, seperti Balangan, Tabalong, Amuntai, Tapin dan Kandangan. Para seniman didikannya, kemudian mendirikan sanggar baru ditempat masing-masing.
Menjadi pekerja seni memang jauh dari harapan untuk kaya. “ Mun handak sugih harta, kada usah jadi seniman. Seniman itu hanya sugih kawan (kalau ingin memiliki banyak harta, jangan jadi seniman. Seniman itu hanya memiliki banyak teman-red) ,” ujar Sarbaini menirukan papadah (petuah-red) Abahnya dulu.
Tertatih-tatihnya perjalanan Sarbai menghidupi sanggar dan mengembangkan kesenian tradisional, tergambar jelas ketika tahun 1980 ia terpaksa menggadaikan sepeda motor kesayangan. Berbekal uang hasil gadaian itulah, ia sanggup menambah peralatan seni. Terhitung, lima tahun lamanya sepeda motor itu baru bisa ditebus.
“Tahun 1978, Pemerintah Daerah HST berencana membangunkan gedung tempat berlatih seniman di Barikin. Seorang warga bahkan telah merelakan sebidang tanah miliknya sebagai lokasi gedung,” Sarbai menarik nafas mengenang saat-saat itu.
Entah kenapa, hingga sekarang tidak pernah ada realisasi dari Pemda HST. Hingga akhirnya, tanah yang sedianya untuk lokasi gedung dijual oleh si empunya. Sarbai dan seniman-seniman lain di Barikin, bukan tak pernah mengajukan permohonan atau proposal bantuan ke pemerintah daerah setempat. Namun semuanya selalu berakhir dengan ketidakpastian.
Kostum, peralatan panggung hingga biaya transportasi dan konsumsi, sepenuhnya diandalkan dari hasil upah yang didapat. Akibatnya, upah tak seberapa itu hanya tersisa sedikit sekali. Bagaimana tidak, dalam pertunjukan Kuda Gipang saja personilnya berjumlah 40 orang. Atau Wayang Gung yang berjumlah lebih banyak lagi, sekitar 50 orang.
Keterkenalan seorang Sarbai dan Barikin sebagai kampung seni, ternyata tak mampu menggugah pemerintah HST untuk sekedar memberikan bantuan. Padahal seandainya ada bantuan, semua untuk perkembangan seni itu sendiri.
Ketidakberdayaan Sarbai dan seniman lainnya di Barikin, semakin membuat nuansa seni di daerah itu kian pudar. Entahlah, apa yang membuat pemerintah daerah menutup mata terhadap perkembangan seni tradisional. Bahkan hingga kini, ketika Sarbai, sang maestro itu terbaring sakit, tak pernah ada sekedar kunjungan dari pihak pemerintah daerah HST. Yang terjadi justru sebaliknya. Sarbai mendapat simpatik dan kunjungan dari pemerintah daerah lain, seperti Tabalong, Balangan dan Amuntai. Lebih dari satu bulan Sarbai terbaring sakit, tak seorangpun pejabat HST yang mengetahuinya. Luar biasa…
Sarbai menghela nafas. Sebelum Panting itu diletakkan disamping kanannya, sekali lagi tangan tuanya membelai ukiran Karuang Bulik, Simbangan Laut dan Naga Salimburan. Sarbai, sang maestro itu harus menerima nasib diacuhkan di negeri sendiri. Ia kini bak terlupakan…
Tamat

1 komentar: